Wednesday, December 25, 2019
PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT ORGANIK
Bismillahirrohmaanirrohiim
Literature review terhadap konsep pendidikan berbasis masyarakat. Pada awal bab dikemukakan
mengenai konseptualisasi “masyarakat”, yang dalam penelitian ini masyarakat dimaknai sebagai sebuah ikatan yang dilihat berdasarkan empat perspektif, yaitu berdasarkan kepentingan, fungsi, demografis, dan berdasarkan psikografik. Persatuan Islam selaku organisasi kemasyarakatan Islam adalah sebuah masyarakat, yaitu masyarakat yang diikat oleh kepentingan (community of interest), yang dalam hal ini adalah kepentingan berdasarkan keyakinan agama (Islam).
Selanjutnya bab ini menjelaskan konsep pendidikan berbasis
1 Beberapa bagian dari pembahasan ini telah dimuat secara terpisah dalam berbagai jurnal dan buku, yaitu: Toto Suharto, “Formulasi Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat: Pesantren Sebagai Model”, Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam (Program Pascasarjana IAIN Bandung), Vol. 2, No. 8, Juli-Desember 2005, hal 343-370 (Terakreditasi Nasional B); Toto Suharto, “Konsep Dasar Pendidikan
Berbasis Masyarakat”, Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan (LPM Universitas Negeri Yogyakarta), Nopember 2005, Th. XXIV, No. 3, hal. 323-346 (Terakreditasi Nasional B); Toto Suharto dan Muhammad Isnaini, “Community- Based Education dalam Tinjauan Pendidikan Kritis”, ISTIQRA: Jurnal Penelitian Islam Indonesia (Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Depag RI), Vol. 08, No. 01, 2009, hal. 133-178 (Belum Terakreditasi); dan Toto Suharto, Pendidikan Berbasis asyarakat: Relasi Negara dmasyarakat yang dilihat dari sudut politik pendidikan, utamanya pendidikan kritis. Bagi pendidikan kritis, pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang keputusan-keputusan kependidikannya dibuat oleh masyarakat, dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri. Bab ini juga membahas landasan filosofis pendidikan berbasis masyarakat, dan beberapa prinsip menyangkut pendidikan berbasis masyarakat, terutama masalah kemandirian
dan keotonomian pendidikan berbasis masyarakat sebagai sebuah prinsip yang harus dipegangi. Di akhir bab dikemukakan mengenai hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam pendidikan
berbasis masyarakat. Hubungan antara keduanya yang bersifat kemitraan mencitrakan pendidikan berbasis masyarakat sebagai sebuah konsep yang mendukung demokratisasi pendidikan.
A. ”Masyarakat” dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat Terma “masyarakat” merupakan alih bahasa dari society atau community. Society sering diartikan sebagai “masyarakat umum”, sedangkan community adalah “masyarakat setempat” atau “paguyuban”.
Dalam terma Arab, society sering diungkap dengan sebutan mujtama’ yang berarti masyarakat pada umumnya, sedangkan community diistilahkan dengan mujtama’ mahalli> yang berarti masyarakat lokal.
Dictionary of Sociology mendefinsikan community sebagai:
Sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti society, tetapi pada skala yang lebih kecil, dan dengan kepentingan yang kurang luas dan terkoordinir. Tersembunyi dalam konsep community
adalah adanya suatu wilayah teritorial, sebuah derajat yang dapat dipertimbangkan mengenai perkenalan dan kontak antar pribadi, dan adanya beberapa basis koherensi khusus yang memisahkannya dari kelompok yang berdekatan. Community mempunyai perbekalan
diri terbatas di banding society, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai asosiasi yang akrab dan simpati yang lebih dalam. Mungkin ada beberapa ikatan kesatuan khusus dalam community, seperti ras, asal-usul bangsa, atau afiliasi keagamaan.
Pengertian leksikal di atas mengisyaratkan bahwa community biasanya dimaknai sebagai suatu kelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan segala ikatan dan norma di dalamnya.
Dengan redaksi berbeda, Orden C. Smucker mencoba mendekati pendidikan dengan perspektif masyarakat (community approach to education). Ia mendefinisikan community sebagai suatu kumpulan populasi, tinggal pada suatu wilayah yang berdekatan, terintegrasi melalui pengalaman umum, memiliki sejumlah institusi pelayanan dasar, menyadari akan kesatuan lokalnya, dan mampu bertindak dalam kapasitasnya sebagai suatu korporasi.
Untuk mempermudah pemahaman orang tentang community, Gerhard Emmanuel Lenski membagi community dalam dua kategori, yaitu geografik dan kultural.
Lenski menulis:
Basically, there are two types of communities, geographical and cultural. Geographical communities are those whose members are united primarily by ties of spatial proximity, such as neighborhoods,
villages, town, and cities. Cultural communities are those whose members are united by ties of a common cultural tradition, such as racial and ethnic groups. A religious groups may also be onsidered a cultural community if its members are closely integrated by ties of kinship and marriage and if the group has developed a distinctive subculture of its own.
Berbeda dengan Lenski yang agak antropologis, Ferdinand Tonnies secara sosiologis menggunakan istilah gemeinschaft (community) dan gesellschaft (society) untuk menguraikan bagaimana
manusia berhubungan dengan manusia lainnya. 7 Menurut Tonnies, teori gemeinschaft (community) dimulai dari asumsi tentang adanya kesatuan kehendak manusia (unity of human wills) sebagai suatu
kondisi asli atau alami yang perlu dipelihara, walaupun terkadang terjadi pemisahan yang nyata. 8 Akar kondisi alami ini berasal dari koherensi kehendak manusia yang dihubungkan oleh tiga ikatan, yaitu ikatan darah (gemeinschaft by blood), ikatan tempat (gemeinschaft of place), atau oleh ikatan karena persamaan jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind). Ikatan darah melahirkan pertalian keluarga (kinship), ikatan tempat melahirkan pertalian lingkungan (neighborhood), dan ikatan pikiran memunculkan persahabatan (friendship).
9 Ciri pokok yang membedakan sebuah gemeinschaft (community) dengan lainnya adalah intimate (hubungan mesra), private (bersifat pribadi), exclusive (hubungan berlaku untuk anggota saja, bukan untuk di luar anggota), 10 adanya common will (kehendak bersama), consensus (kesepakatan) serta adanya natural law (kaidah alami) yang dibuat para anggotanya. 11 Dengan ciri-ciri pokok ini, Tonnies menyatakan bahwa struktur hubungan pada sebuah gemeinschaft (community) adalah nyata dan organik (real and organic), 12 sebagaimana diumpamakan organ tubuh manusia atau hewan.
Adapun gesellschaft (society) merupakan konstruksi dari suatu kumpulan manusia yang tinggal dan hidup bersama secara damai. Kalau dalam gemeinschaft mereka dipersatukan oleh semua faktor pemisah, maka dalam gesellschaft mereka dipisahkan oleh semua faktor pemersatu, 13 artinya darah, tempat, dan pikiran bukanlah 7 Ferdinand Tonnies, “Gemeinschaft and Gesellschaft”, dalam Selo So -
mardjan dan Soelaeman Soemardi (eds.), Setangkai Bunga Sosiologi, Edisi I (Ja- karta: Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia, 1974), hal. 461-484. Soekanto menerjemahkan kedua istilah ini menjadi “paguyuban” untuk gemein-schaft dan “patembayan” untuk gesellschaft. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Cet. XXVII; Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hal. 143-148. menjadi pengikat kesatuan mereka. Intinya, suatu gesellschaft adalah publik life, dalam arti hubungannya berlaku bagi semua orang. Seorang yang memasuki gesellschaft ibarat orang yang memasuki suatu negeri asing. 14 Hal ini karena suatu gesellschaft bersifat imaginary (dalam
pikiran belaka) dan strukur hubungan yang digunakannya adalah mechanical strucure, sebagaimana diumpamakan sebuah mesin. 15 Kecenderungan baru menunjukkan bahwa konseptualisasi
community dengan menggunakan perspektif geografis-lokasional kini mulai ditinggalkan orang.
Hal ini, seperti diungkapkanMichael W. Galbraith, telah membuat intersecting dan overlapping
antara community dengan masyarakat dalam pengertian yang luas. 16 Menurutnya, ada beberapa perspektif lain yang mencoba memahami masyarakat sebagai sebuah konsep. Pertama, perspektif
“kepentingan” yang telah melahirkan konsep community of interest. Perspektif ini memahami masyarakat sebagai kelompok individu yang diikat oleh satu atau beberapa satuan kepentingan dari banyak orang, seperti kesenangan, kepentingan kewarganegaraan dan politik, atau kepercayaan religius dan spiritual. Menjadi “Klub Penggemar Bola Basket”, atau barangkali menjadi “Kelompok Pecinta Opera”merupakan contoh dari masyarakat kepentingan. Kedua, perspektif “fungsi” yang memunculkan konsep community of function. Kelompok yang dikenali berdasarkan fungsi peran dalam kehidupan, seperti profesor, pekerja sosial, konsultan, pengacara, dokter, petani, kuli bangunan, orangtua, dan sebagainya, dapat dipertimbangkan sebagai community of function. Ketiga, persepktif demografis, yaitu memandang masyarakat sebagai kelompok yang diikat oleh
karakteristik demografis umum seperti ras, jenis kelamin, dan umur. Contoh masyarakat seperti ini adalah “Masyarakat Afrika-Amerika”atau “Kelompok Usia Lanjut”. Keempat, perspektif psikografik, yaitu melihat community sebagai kelompok yang dibentuk berdasarkan komponen-komponen sistem nilai, kelas sosial, dan gaya hidup. Contohnya adalah “Masyarakat Gay” atau “Masyarakat Pertanian
Desa Kelas Menengah”. Dengan mengutip Harvard Education Review yang terbit 1989 dan 1990, P.M. Cunningham mencoba mendefinisikan masyarakat bagi pendidikan berbasis masyarakat. Menurutnya, masyarakat dapat diartikan sebagai:
The configuration of people we live next to, as well as of people
with whom we share deep common bonds; work, love, an ideology,
artistic talent, a religion, a culture, a sexual preference, a struggle,
a movement, a history, and so on. 17
(Suatu konfigurasi dari orang-orang yang kita hampir hidup di dalamnya, seperti halnya orang-orang dengan siapa kita berbagi ikatan-ikatan umum, dalam bekerja, mencintai, berideologi, bakat
artistik, dalam suatu agama, suatu kultur, suatu pilihan seksual, suatu perjuangan, suatu gerakan, suatu sejarah, dan seterusnya).
Pengertian masyarakat menurut Cunningham di atas sepaham dengan apa yang dimaksud Galbraith sebagai community yang mengandung empat perspektif, yaitu berdasarkan kepentingan, fungsi, demografis, dan psikografik. Dengan ini, segala ikatan yang mengikat individu, baik berdasarkan kepentingan, fungsi, demografis, maupun psikografik, dapat disebut sebagai sebuah masyarakat. Konseptualisasi community seperti inilah yang dijadikan pegangan dalam memaknai kata “masyarakat” yang terandung dalam pendidikan berbasis masyarakat. Dalam konteks ini, Persatuan Islam selaku organisasi kemasyarakatan Islam adalah sebuah masyarakat, yaitu masyarakat yang diikat oleh kepentingan (community of interest), yaitu kepentingan berdasarkan keyakinan agama (Islam).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment