Tuesday, December 24, 2019
Akulturasi Sejarah Indonesia
Pengertian Akulturasi
Banyak para ahli yang memberikan
definisi tentang akulturasi, antara lain menurut pendapat Harsoyo.
Akulturasi adalah fenomena yang
timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan
yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus;
yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari
salah satu kelompok atau kedua-duanya (Harsoyo).
Dari definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua
kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru
tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.
Dengan adanya kontak dagang antara
Indonesia dengan India, maka mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi
yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru tetapi tidak melenyapkan
kepribadian kebudayaan sendiri.
Hal ini berarti kebudayaan Hindu –
Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah,
ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia,
sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia menjadi
bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu – Budha.
Contoh
hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia
asli sebagai berikut.
1.
Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada
umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha
dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah
unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah
punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan
salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
2. Seni
Sastra
Pengaruh
India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada
yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan
isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur
kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).Bentuk wiracarita
ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata.
Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia.
Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga
munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber
dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang
purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu
mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung
nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam pertunjukan
wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan
ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula
tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan
seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India.
Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf
pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti
yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya,
ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
3. Sistem
Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya
sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam
pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang
pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya
orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki
kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta
memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian).
Setelah
pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya
disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai. Salah satu bukti
akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan
dipandang memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum
Hindu-Buddha. Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja
dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal,
rohnya dipuja-puja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment