Alkhamdulillah. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga sekilas modul ini dapat diselesaikan. Modul ini bertemakan Perpaduan Budaya Lokal, Hindu Buddha dan Islam di Indonesia. Tema ini menarik untuk
dikembangkan, mengingat perpaduan budaya lokal, Hindu Buddha dan Islam ada dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara. Dengan demikian, tema ini akan sangat menarik untuk pembelajaran. Tema ini pun sangat kontekstual dengan kehidupan sehari-hari, sehingga para mahasiawa dapat menghayati, mengoservasi, bahkan wawancara materi yang dipelajarinya. Dengan tema ini pula para mahasiswa diharapkan dapat mengambil hikmah dan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam materi yang dipelajarinya.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul sederhana ini dapat diselesaikan berkat uluran
tangan, dorongan, bimbingan dan bantuan serta doa berbagai pihak. Untuk itu dengan setulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada;
1. Rektor Universitas _________________ yang telah memberikan kesempatan
terselenggaranya pengembangan modul ini.
2. Ketua LPPMP ____________________ beserta staf yang telah memberikan pengetahuan dan kesempatan pengembangan modul ini.
3. Dekan beserta staf _________________yang telah memberikan dorongan sehingga modul ini terselesaikan
4. Bapak Sardiman AM, M. Pd. Selaku Dosen Pembimbing senior yang telah memberikan
arahan, dukungan dan bimbingan serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi menyelesaian
modul ini
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan uluran
tangan demi kelancaran penyusunan modul ini Teriring doa semoga amal dan budi baik mereka mendapat ridho dan berkah dari Alloh SWT.
Aamiin.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penyusun sangat memngharapkan kritik saran demi perbaikannya. Sedangkan apabila ada kelebihan adalah karena berkat rahmat dan hidayah Alloh dan uluran tangan dari berbagai pihak.
Sebagai pemungkas kata, penyusun hanya dapat berharap semoga modul sederhana ini
bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan, khususnya dalam pembelajaran sejarah di perguruan tinggi.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Yogyakarta, 10 Oktoberl 2014
Penyusun,
PERPADUAN BUDAYA LOKAL, HINDU BUDDHA, DAN ISLAM DI INDONESIA
I. Tujuan
Setelah mempelajari topic ini, para mahasiswa diharapkan dapat;
1. menjelaskan pengertian akulturasi
2. menjelaskan terjadinya akulturasi
3. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang seni bangunan Masjid
4. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang seni bangunan Makam
5. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang seni Ukir
6. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang aksara dan seni sastra
7. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang seni pertunjukan
8. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang system pemerintahan
9. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang kalender
10. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang filsafat
11. menjelaskan bentuk akulturasi budaya lokal, Hindu Buddha dan islam di Indonesia
dalam bidang kepercayaan dan ritual budaya
12. mengambil hikmah dan nilai-nilai karakter dari materi yang dipelajari
II. Materi Pembelajaran
Masuknya agama Hindu, Budha, dan Islam ke Indonesia telah memberikan pengaruh atau warna yang sangat jelas bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena ini masih dapat kita amati dalam kehidupan masyakarat di Indonesia saat ini.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kedatangan kedua agama ini tidak menunjukkan pertentangan dari masyarakat Indonesia. Justru yang terlihat adalah adanya jalinan interaksi positif berupa percampuran kebudayaan yang melahirkan kebudayaan baru pada masyarakat Indonesia dengan ciri khusus.
A. Akulturasi Kebudayaan Lokal, Hindu Budha, dan Islam
1. Pengertian AkulturasiSecara umum, akulturasi diartikan sebagai proses perpaduan antara dua kebudayaan atau lebih, sehingga melahirkan bentuk kebudayaan baru. Akan tetapi, unsur-unsur penting dari masing-masing kebudayaan (baik kebudayaan lama maupun kebudayaan yang datang berikutnya) masih terlihat. Dengan demikian, proses akulturasi akan terjadi apabila masing-masing kebudayaan yang saling berpadu itu seimbang.
Masuknya pengaruh Kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia juga telah melahirkan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia asli. Hal ini terjadi karena antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia asli, sama-sama kuat. Begitu juga pada waktu kebudayaan Islam datang, terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan Indonesia yang sudah ada.
Berkembangnya kebudayaan Islam memang tidak kemudian menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang telah berkembang sebelumnya terjadi akulturasi. Dari perpaduan budaya ini melahirkan kebudayaan baru yang unik dan menarik.
2. Terjadinya Akulturasi
Terjadinya interaksi antara kebudayaan Hindu Budha dengan Islam sekaligus terjadi interaksi dengan kebudayaan lokal. Seperti telah kalian kaji pada bab sebelumnya, bahwa kedatangan pengaruh agama Hindu Buda di Indonesia menimbulkan akulturasi dengan kebudayaan setempat. Hal ini terus berlanjut hingga pada masa pengaruh Islam. Kalian bisa mengidentifikasi terjadinya akulturasi antara
tradisi lokal, Hindu Buda dan Islam ini dengan membandingkan kebudayaan pengaruh Hindu Buda dengan pengaruh Islam.
Sifat kebudayaan adalah dinamis, dan saling memengaruhi. Interaksi antar budaya akan menghasilkan budaya baru, atau kalau budaya itu sangat bertentangan maka akan muncul dampak negatif berupa konflik. Sementara dalam kajian kita terdahulu sangat jelas bahwa agama Hindu, Buda, maupun Islam masuk dengan penuh kedamaian. Masing-masing masuk dengan menyesuaikan pada kebudayaan setempat. Akhirnya semua kebudayaan tersebut dapat diterima oleh masyarakat Indonesia tanpa menimbulkan tragedi yang mengerikan, yakni pertumpahan darah.
Bentuk lain interaksi antara tradisi lokal, Hindu Buda, dan Islam adalah dalam hal kepercayaan. Pada jaman megalithikum telah mengenal persembahan. Mantera, ritual kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal ini terus berlanjut pada masa pengaruh Hindu Buda. Pada masa kedatangan Islampun tidak hilang begitu saja.
Konsep-konsep animisme dan dinamisme pada masyarakat Islam Indonesia masih kita temukan hingga saat ini. Terjadinya percampuran dalam keagamaan ini disebut sinkritisme.
Kalian bisa menemukan hal-hal ini terutama pada masyarakat Jawa yang melakukan sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat. Memuja senjata, binatang, gunung, laut, danau, dan sebagainya.
B. Bentuk Akulturasi
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam dapat
dilihat dalam bentuk fisik kebendaan, seperti seni bangunan, seni ukir/pahat, dan karya
sastra. Di samping dalam bidang fifik kendaaan, akulturasi juga menyangkut perilaku
masyarakat Indonesia.
Beberapa contoh bentuk akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan
Indonesia yang telah berkembang sebelunya adalah sebagai berikut.
1. Seni Bangunan
a. Masjid dan Menara
Seni bangunan yang berkembang pada jaman Indonesia masa Islam menunjukkan adanya peipaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan Indonesia yang telah ada. Salah satu bentuk perpaduan seni bangunan Islam dengan seni bangunan yang telah berkembang sebelumnya adalah seni bangunan masjid. Dengan adanya perpaduan ini, bangunan masjid di Indonesia pada jaman perkembangan Islam memiliki bentuk yang unik. Perhatikan dan cermati gambar masjid Demak dan Masjid Kuno Aceh, temukan keunikannya !
Gambar Kuno Masjid demak Masjid Kuno Aceh
Bentuk bangunan Masjid yang merupakan hasil akulturasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun atau bertingkat, semakin ke aras semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal, ada yang tiga, ada juga yang lima. Bentuk atap bertumpang ini adalah karena pengaruh bentuk meru pada bangunan suci (Pure) Hindu. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak yang dinamakan mustaka Meru pada bangunan Pure Taman Ayun Bali
b) Tidak adanya menara. Ini seperti lazimnya masjid-masjid yang ada di luar Indonesia.
Masjid luar Indonesia umumny memiliki menara. Masjid-masjid di Mesir dan Masjid Abas di Karbala, Irak, memiliki menara yang sangat tinggi dan megah. Menara menjadi bagian penting, karena merupakan tempat muadzin menyerukan adzan sebagai panggilan orang untuk shalat.Di Indonesia pemberitahuan waktu shalat di samping dengan seruan adzan, juga dilakukan dengan pemukulan sebuah bedug atau kentongan.
Masjid Kudus dan masjid Banten ada menaranya. Kedua menara itu bentuknya sangat unik. Menara Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan fungsinya. Ada juga yang menyatakan, bentuk menara masjid kudus mirip dengan Bale Kulkul. Bale Kulkul adalah bagian bangunan dari bangunan sebuah Pure. Cermati dan bandingkan gambar menara Kudus dan Bale Kulkul di Pure Taman Ayun Bali, kemudian temukan kemiripan bentuknya
Menara Kudus Bale Kulkul
Keunikan lain masjid Kudus adalah pada pintu-pintu masuk dan tempat wudhunya. Pintu-pintu masuk masjid Kudus, aslinya menyerupai pintu-pintu masuk dalam bangunan agama Hindu. Tempat wudhunya juga unik, karena air wudhu keluar memancar dari mulut kalamakara. Ini jelas merupakan bentuk akulturasi antara Islam dengan Hindu.
Pintu masuk masjid Kudus Tempat wudhu masjid kudus Salah satu kran wudhu Jaman dulu
Menara masjid Banten adalah tambahan dari zaman kemudian yang diusahakan oleh seorang Belanda yang bernama Cardeel. Bentuk menaranya menyerupai sebuah mercusuar.
b. Makam
Pemakaman mayat pada jaman Indonesia masa Islam banyak dipengaruhi oleh pandangan dan budaya yang berkembang pada masa sebelumnya. Kebiasaan- kebiasaan jaman sebelum kedatangan dan perkembangan Islam akhirnya juga banyak dilakukan oleh masyarakat Islam. Misalnya, kalau pada jaman kuno mayat dimasukkan dalam kubur batu, pada jaman islam ada yang dimasukkan dalam peti. Sering pula di atas kubur ditabur bunga-bungaan. Saji-sajian dan selamatan yang telah berkembang pada jaman pra sejarah dan Hindu-Budha tetap hidup pada jaman Islam. Sehingga tidak mengherankan apabila pada hari-hari ke 1, 3, 7, 40, 100, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 harinya orang meninggal, sering diadakan selamatan dan kenduri. Selamatan dan kenduri ini diiringi dengan doa-doa Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan tahlil. Selamatan ini dimaksudkan untuk mengantar roh ke hadirat Illahi. Ini jelas menunjukkan adanya perpaduan antara Islam dengan Budaya Hindu-Budha dan pra sejarah.
Sesudah selamatan terakhir (nguwis-uwisi), yakni pada hari ke 1000, umumnya kuburan kemudian diabadikan (diperkuat dengan bangunan dari Batu). Pengabadian kubur ini biasanya dilakukan dengan membuat jirat atau nisan di atas kubur. Bagi orang-orang tertentu, umumnya bangsawan atau tokoh penting, di atas jirat didirikan rumah atau sering disebut cungkup.
Cungkup Makam Sunan Drajat yang banyak dikunjungi para peziarah Banyak masyarakat berpandangan, bahwa makam merupakan kediaman terakhir yang abadi, maka diusahakan pula semacam rumah yang sesuai dengan kedudukan orang yang dikubur. Makam para raja atau orang penting dibangun seperti layaknya istana.
Seakan-akan makam itu disamakan dengan orangnya, lengkap dengan keluarganya serta pembesar-pembesar pengiringnya yang terdekat. Oleh karena itu bentuk pemakaman itu merupakan satu gugusan cungkup-cungkup dan jirat-jirat yang dikelompokkan menurut hubungan kekeluargaan. Gugusan ini dibagi menjadi berbagai halaman, yang dipisahkan oleh tembok tetapi dihubungkan dengan gapura-gapura. Di dekat makam itu biasanya dibangun masjid, sehingga dikenal dengan masjid makam.
Masyarakat berpandangan bahwa makam, apalagi makam orang-orang terkemuka seperti para wali dan raja, adalah tempat yang suci dan keramat. Oleh karena itu, banyak bangunan masjid yang dibangvun satu kompleks dengan makam. Sebagai contoh adalah masjid makam di Demak, Kudus, Muria, Ampel (Surabaya), Gunung Jati (Cirebon), Bayat (Klaten), dan Sendangduwur (Tuban).
Makam di sekitar Masjid Demak (didalamnya ada makam R. Patah dan Sultan Trenggana Kalau dihubungkan dengan budaya sebelumnya, pembuatan cungkup ini adalah karena pengaruh budaya sebelumnya. Pada jaman pra sejarah, tokoh-tokoh penting demak (kepala suku) sesudah meninggal diabadikan dalam bentuk Menhir. Pada jaman Hindu-Budha, tokoh-tokoh penting (raja) diabadikan dalam bentuk bangunan candi Menhir.
2. Seni Ukir
Dalam ajaran Islam mengukir, membuat patung, melukis makhluk hidup apalagi manusia
secara nyata tidak diperbolehkan. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman perkembangan Islam, kurang berkembang. Padahal pada masa Hindu-Budha seni
patung sangat berkembang, baik patung-patung bentuk manusia maupun binatang.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan, namun seni pahat atau seni ukir terus berkembang.
Untuk menghindari penggambaran mahluk hidup, para seniman kemudian mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan.
Pada masa ini muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, ukiran atau lukisan mahluk hidup akan disamarkan dengan berbagai hiasan, sehingga tidak
lagi jelas-jelas berujud binatang atau manusia. Bentuk yang semacam itu disebut dengan
stilir.
Contoh seni hias dan seni ukir yang mewakili perkembangan seni ukir dan hias jaman
Indonesia masa Islam paling banyak ditemui di masjid Mantingan, Jepara, Jawa Tengah,
dan komplek makam Sendangduwur, Jawa Timur.
Stilir Kera dan Ketam di Masjid Mantingan Gapura Makam Sendang Duwur
3. Aksara dan Seni Sastra
Masuk dan berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia juga membawa pengaruh dalam
bidang aksara dan tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab kemudian digunakan untuk menulis.Bahasa Arab juga mulai digunakan di Indonesia. Yang cukup menarik, Huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Sehingga, berkembanglah seni kaligrafi. Dalam bidang karya sastra, bekembanglah hikayat, babad, suluk.
a. Hikayat
Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat
banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang kadang-
kadang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau
prosa). Hikayat yang terkenal, antara lain, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-
Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan
Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
b. Babad
Babad berisi cerita sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta. Tulisan Babad
berisinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Iutlah sebabnya,
babad sering disamakan dengan hikayat. Di tanah Melayu tulisan yang mirip dengan
babad dikenal dengan sebutan tambo atau silsilah. Contoh babad adalah Babad Tanah
Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
c. Suluk
Suluk adalah karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal
tasawuf. Contoh suluk antara lain;
1) Suluk Sukarsa, isinya mengisahkan perjalanan hidup Ki Sukarsa dalam mencari ilmu
untuk mendapatkan kesempumaan hidup.
2) Suluk Wujil, berisi wejangan atau ajaran Sunan Bonang kepada Wujil, yakni seorang
kerdil yang pemah menjadi abdi di Kerajaan Majapahit.
3) Suluk Malang Sumirang, berisi penghormatan dan pujian terhadap seseorang yang
telah mencapai kesempumaan, mendekatkan diri, dan menyatu dengan Tuhan.
4) Syair. Syair merupakan karya sastra yang berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat
baris. Syair ini mirip dengan pantun.
4. Kesenian
Salah satu media proses penyebaran Islam di Indonesia adalah kesenian. Oleh karena itu
pada jaman Indonesia masa Islam berkembang beberapa kesenian yang bertujuan untuk
menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut antara lain sebagai berikut.
- Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda
tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka dan mengeluarkan darah. Tarian ini diawali
dengan pembacaan ayat-ayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini dapat
ditemui di Banten dan Minangkabau.
- Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dari kata syaidati yang artinya
permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Sebutan
delapan ini dikaitkan dengan jumlah penari Seudati. Tarian ini aslinya dimainkan oleh
delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat
nabi.
- Wayang. Sebenarnya, pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu.
Pada zaman pperkembangan Islam di Indonesia, kesennian yang sangat disukai masyarakat ini terus dikembangkan. Cerita-cerita dalam pertunjukkan wayang kemudian dikaitkan dengan ajaran Islam. Pada perkembangan berikutnya, muncul pertunjukkan wayang golek. Wayang golek dikembangkan berdasarkan cerita Amir Hamzah.
-Sistem Pemerintahan
Perkembangan Islam di Indonesia membawa pengaruh politik dan pemerintahan yang bercorak Islam. Tanda-tanda munculnya pemerintahan yang bercorak Islam dapat dilihat di Perlak. Setelah itu berkembanglah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Jika dilihat dari sistem pemerintahannya, pemerintahan kerajaan yang bercorak Islam tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan sebelumnya (zaman Hindu-Budha). Sistem pemerintahan pada zaman Hindu-Budha nampak mengembangkan sistem feodal, begitu juga kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.
Pada zaman Hindu-Budha raja dikenal sebagai titisan dewa (penjelmaan dewa), sedangkan
raja-raja (sultan) dari kerajaan Islam diakui sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi ini.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan Islam di Indonesia mengandung aspek kepemimpinan yang religius atau kepemimpinan spiritual. Raja dipandang sebagai simbul kehidupan yang tertinggi di kerajaan. Raja sangat dihormati dan dipuja-puja oleh rakyatnya. Rakyat hidup dan mengabdi untuk rajanya. Suksesi atau pergantian penguasa dengan sistem turun-temurun.
6. Kalender
Sistem kalender yang dimilik oleh Islam juga berpenganuh di Indonesia. Adalah Sultan
Agung, Raja Mataram, yang telah menggabungkan antara kalender jawa dengan kalender
Islam. Jika sebelumnya digunakan kalender berdasarkan sistem matahari (Syamsiah),
maka sebagai pengaruh dari sistem kalender Islam , diciptakan kalender dengan sistem
peredaran bulan (komariyah). Sultan Agung juga melakukan sedikit perubahan mengenai
nama-nama bulan dalam Islam. Misalnya, bulan Muharam diganti dengan Sura dan
Ramadan diganti dengan Pasa. Kalender yang dikembangkan Sulatn Agung tersebut
dimulai pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 H, atau tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa,
tepatnya 8 Agustus 1633.
7. Filsafat
Perkembangan filsafat pada masa penyebaran Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
ajaran tasawuf. Setiap orang berusaha mencari kebenaran dan kesempumaan hidup,
melalui praktik-praktik keagamaan yang benar. Karena kebenaran mutlak hanya ada pada
Tuhan, maka untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di
akhirat, manusia harus terus-menerus mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan.
Bentuk Bentuk Akulturasi yang Lain
Bentuk lain dari akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam antaralain nampak dalam hal-hal yang berkait dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Pada upacara kelahiran dan perkawinan, terjadi perpaduan antara unsur Indonesia dengan unsur Islam. Pada upacara perkawinan, sangat nyata adanya perpaduan antara adat daerah di Indonesia dengan unsur Islam. Sepasang mempelai setelah dinikahkan dengan cara Islam, kemudian diikuti dengan berbagai upacara adat, yang masing-masing daerah sangat
bervariasi.
Kebiasaan yang erat kaitannya dengan manusia yang sudah mati, di masyarakat Indonesia
dikenal adanya kegiatan ziarah. Kegiatan ziarah diikuti dengan memanjatkan doa-doa. Di
tempat-tempat yang dikunjungi, banyak diantara para peziarah yang juga minta dikabulkan keinginan dan harapannya. Misal, enteng jodoh, enteng rejeki, naik pangkat, mendapatkan keturunan, sembuh dari sakit, dapat pekerjaan, dan sebagainya.
Ziarah di Makam Sunan Ampel, Surabaya Upacara grebeg yang sangat terkenal di lingkungan masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa Tengah dan Cirebon, juga merupakan bentuk nyata dari adanya akulturasi. Upacara Grebeg pertama kali dilaksanakan di Kerajaan Demak, kemudian berkembang sampai Kerajaan Mataram. Upacara itu sekarang dilestarikan di Demak, kraton Surakarta, Yogyakarta, dan Cirebon.
Di Cirebon upacara mirip Grebeg dinamakan dengan panjang jimat. Panjang jimat sendiri
adalah seperangkat piring dan baki untuk menempatkan makanan yang dibagi-bagikan.
Piring dan baki itu hanya digunakan sekali setahun. Pada malam menjelang tanggal 12
Maulud, panjang jimat diarak dari kraton menuju masjid diiringi oleh sultan dan seluruh
kerabat kraton.
Di Demak, Kraton Yogyakarta dan Surakarta sampai sekarang sering diadakan upacaragarebeg sekaten. Maksud dari upacara Grebeg itu tidak lain sebagai bentuk ucapan syukur
dari sultan kepada Tuhan. Sultan mengadakan syukuran karena lelah dipercaya untuk
memimpin rakyat. Hal ini jelas sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi dalam prosesi
upacara dan perlengkapan serta saji-sajiannya, tidak terlepas dari aspek budaya
sebelumnya, sedangkan doa-doanya menggunakan cara-cara Islam. Puncak upacara
garbeg adalah arak-arakan gunungan yang berisikan aneka hasil bumi. Gunungan aneka
hasil bumu ini kemudian menjadi rebutan masyarakat. Masyarakat memiliki keyakinan
bahwa aneka hasil bumi yang mereka dapatkan dari gunungan tersebut akan membawa
keselamatan dan berkah bagi diri dan keluarganya. Keperceryaan semacam ini jelas
merupakan pengaruh dari budaya sebelumnya.
Berebut Gunungan untuk mendapatkan berkah Di samping upacara garebeg, upacara labuhan di pantai selatan yang sering dilakukan oleh kraton Yogyakarta dan Surakarta jugas merupakan bentuk perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Pra Sejarah, Hindu-Budha dan Islam. Ritual yang dilakukan dalam upacara labuhan berasal dari budaya jaman pra sejarah dan Hindu-Budha, sedangkan doa-doa yang digunakan umumnya berasal dari Islam.
Upacara labuhan di pantai selatan
Masyarakat nusantara, khususnya Jawa, juga mengenal berbagai kegiatan selamatan
dengan bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu tertentu. Misalnya, selamatan
atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati Hasan-Husen (putra Ali bin Abu Thalib), Maulud Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad), Ruwahan(Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal, dan selamatan pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. Dalam selamatan atau kenduri biasanya berkumpul beberapa anggota masyarakat yang duduk mengitari berbagai jenis makanan dan ada juga semacam saji-sajian. Kemudian dibacakan doa menurut Islam oleh seorang modin atau kaum. Setelah itu, mereka bersama-sama menikmati aneka makan yang disajikan dalam upacara dan kenduri tersebut.
yang telah memeluk agama sebelumnya. Hal ini menimbulkan kreasi dari para da’i untuk
mengembangkan seni, teknologi, dan sastra dalam melakukan dakwah.
Mereka melakukan perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu Buda serta masyarakat setempat untuk syiar Islam. Akhirnya dapat ditemukan beberapa bentuk
kebudayaan yang merupakan akulturasi tersebut. Sebagai contoh adalah bentuk masjid di
Jawa yang memadukan bentuk joglo dan limas sebagai model asli masyarakat Jawa dan
atap tumpang yang merupakan budaya Hindu Buda. Penyembelihan hewan kerbau di Kudus merupakan salah satu bentuk penghormatan para wali terhadap kepercayaan Hindu yang tidak memperkenankan menyembelih sapi dan makan dagung sapi. Hal ini sebagai bukti suri tauladan nenek moyang kita dalam menjalin persaudaraan.
0 komentar:
Post a Comment